Senin, 08 Oktober 2012

Seputar Atsar ‘Muawiyah Melaknat Imam Ali Ra’. Benarkah?

Membicarakan adanya perselisihan personal di antara para sahabat Rasulullah Saw, kalau hal tsb memang benar-benar ada, tidaklah akan menambah kemampuan kita untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Bahkan kalangan ulama’ Ahlus Sunnah selalu menganjurkan untuk tidak membicarakannya. Mengapa? Karena Rasulullah Saw sudah bersabda bahwa generasi yang terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya (Sahih Bukhari 2651).
Ibnu Qudamah al-Maqdisy dalam kitab al-Lum’ah menyatakan agar kita selalu meyayangi para sahabat Nabi Saw, selalu mengingat dan mencontoh perjuangan mereka serta selalu istighfar untuk mereka.
Bukankah kita ingin agar termasuk hamba Allah yang selalu mendoakan orang-orang mukmin? Allah berfirman: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian ada dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (al-Hasyr 10).
Kita dengan hati teguh berdoa agar jangan ada dengki di dalam lubuk hati kita terhadap orang-orang sebelum kita. Karena itu kita harus selalu berusaha menghapus rasa benci dan curiga terhadap sahabat Nabi. Rasulullah Saw juga telah melarang untuk mencaci para sahabat beliau. Nabi Saw bersabda: Janganlah kalian mencaci sahabatku. Kalau seandainya salah seorang dari kamu sekalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, tidak akan bisa menandingi infak para sahabatku yang hanya sebesar Mud atau setengahnya. (Sahih Bukhari 3673).
Maksudnya adalah bahwa walaupun nilai mutlak apa yang diinfakkan oleh sahabat Nabi Saw adalah kecil tetapi itu sangat besar nilainya disisi Allah. Lebih-lebih sahabat yang telah menjadi muslim sejak sebelum Fathu Makkah. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Radhiyallaahu anhum dll. Pujian ini terdapat dalam firman Allah Swt: Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempunyai langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum Fathu (Makkah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hadiid 10)
Para prajurit yang ikut berjihad di perang Hunain tepat sesudah Fathu Makkah mendapat pujian Allah Swt. ‘Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. (at-Taubah 26). Tercatat dalam sejarah bahwa Mu’awiyah Ra adalah salah satu prajurit dalam perang ini. Secara otomatis, berarti Mu’awiyah juga mendapat pujian Allah Swt. Lebih-lebih beliau juga termasuk salah satu penulis al-Qur’an.
Imam adz-Dzahaby dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ menyatakan bahwa hendaknya kita tidak membicarakan perselisihan yang terjadi pada zaman dahulu, seperti yang terjadi antara Imam Ali Ra dengan Mu’awiyah. Walaupun peristiwa tersebut tertulis di buku-buku sejarah, namun umumnya didukung dengan data sumber sejarah yang lemah, bahkan palsu.
Kalau ada orang yang melemparkan tuduhan bahwa Mu’awiyah Ra pernah memerintahkan untuk mencaci Imam Ali Ra, maka kita tidaklah perlu membuktikan bantahan terhadap tuduhan tsb. Justru yang menuduh itulah yang wajib untuk menunjukkan bukti yang sahih. Mungkin dia akan berdalih bahwa hal ini tidak perlu bukti lagi lebih lanjut, toh sudah tertulis dengan jelas di buku-buku Tarikh, Thabary misalnya.
Walaupun demikian, kita masih perlu untuk minta kepada orang yang melemparkan tuduhan, suatu bukti yang lebih kuat yang ditulis sesaat setelah peristiwa yang dituduhkan tsb. Secara fakta buku-buku yang ditulis pada zaman Kekhalifahan Bani Umayyah tidak ada yang mencatat kejadian seperti yang dituduhkan. Kalau tuduhan tsb benar, mengapa harus berpegang kepada buku sejarah yang ditulis ±200 tahun setelah kejadiannya? Padahal saat itu sudah berganti dinasti ke Daulah Abbasiah sejak tahun 132H.
Dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah (284/7), Ibnu Katsir jelas-jelas menolak tuduhan ini dengan mengatakan bahwa berita tsb sama sekali tidak sahih.
Ketika Hasan dan Husein Ra bertamu menemui Muawiyah Ra, kedua putra Imam Ali Ra ini diberi hadiah 200ribu Dinar. Muawiyah Ra berkata: Tak ada seorangpun yang diberi hadiah sebesar ini. Hasan menimpali: Dan tidak ada seorang pun yang diberi hadiah lebih baik dari yang diberikan kepada kami (al-Bidayah wan-Nihayah (239/8)).
Pernah suatu saat Imam Hasan menemui Muawiyah. Ia menyambutnya: Selamat datang dengan putra Rasulullah Saw dan memberi hadiah 300rb Dinar (al-Bidayah wan-Nihayah (140/8)).
Secara logika tidak masuk akal kalau Muawiyah Ra mencaci dan menyuruh untuk mencaci Imam Ali Ra. Bukankah dia seorang khalifah yang pada Tahun Persatuan (Aamul-Jamaa’ah) 41H, Imam Hasan Ra telah berbaiat kepadanya? Bahkan penulis al-Iqdul Farid (yang lebih terkenal dengan Sohibul Iqdil Farid wafat 328H) mencatat peristiwa pertemuan antara Muawiyah Ra dengan Imam Hasan Ra. Saat pertemuan tsb, Muawiyah Ra menjabat tangan Imam Husein Ra seraya bertanya kepada hadirin pembesar Khilafah Bani Umayyah: Siapakah orang yang paling mulia ayahnya, ibunya, kakeknya dan neneknya? Mereka menjawab: Amirul Mu’minin lebih tahu. Dengan menggenggam tangan Imam Hasan Ra. Muawiyah berkata: Inilah orangnya!, ayahnya Ali bin Abi Thalib, Ibunya Fatimah Bint Muhammad Saw, kakeknya Rasulullah Saw dan Neneknya Khadijah Ra.
Dalam Sahih Muslim (No. 2404) ada hadits yang sering menimbulkan kesalahpahaman. Haditsnya sbb: Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqas, dari Sa’d bin Abi Waqqas berkata: Muawiyah bin Abu Sufyan memberi tugas kenegaraan kepada Sa’d bin Abi Waqqas. Muawiyah berkata: Apa yang membuat engkau tidak mau melaknat Abu Turaab (Imam Ali)? Sa’d menjawab: Tidakkah anda ingat terhadap 3 hal yang disabdakan Rasulullah Saw, maka saya tidak akan pernah melaknat Imam Ali. Bila seandainya saya terpilih untuk menduduki salah satu posisi tsb, saya benar-benar lebih senang dari pada kekayaan harta dan ternak yang melimpah.
  • Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda kepada Ali untuk tidak ikut ke medan perang. Ali Ra berkata: Wahai Rasulullah apakah engkau tinggalkan saya untuk bersama kaum perempuan dan anak-anak? Rasulullah Saw bersabda: Hai Ali! tidakkah kamu ridha agar engkau terhadap diriku seperti posisi Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.
  • Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda pada perang Khaibar: Sungguh saya akan serahkan bendera komando kepada seorang pemuda yang mencintai Allah dan RasulNya serta dicintai oleh Allah dan RasulNya. Maka kami pun berharap-harap agar terpilih untuk menjadi panglima Khaibar. Rasulullah Saw minta untuk dipanggilkan Ali. Ternyata Ali sakit mata. Rasulullah Saw memberinya obat dengan air ludah beliau kemudian menyerahkan bendera komando kepadanya. Allah pun memberi kemenangan kepada kaum muslimin di Khaibar.
  • Yang ketiga adalah tatkala turun Ali-Imra 61 (Katakanlah Mari kita mengajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu dst), Rasulullah mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husein dan beliau bersabda: Ya Allah merekalah keluargaku.
Hadits ini sama sekali tidak menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Sa’d bin Abi Waqqas untuk melaknat Ali Ra. Tetapi Muawiyah justru hendak membeberkan sebab-sebab yang menjadi halangan bagi Sa’d untuk mencaci Ali Ra. Kalau toh Muawiyah menyuruh Sa’d, mengapa tidak ada cerita tentang kemarahan Muawiyah ketika Sa’d menolaknya? Sudah tentu diamnya Muawiyah ini menandakan bahwa Muawiyah setuju dengan keterangan Sa’d.
Masalah ini bisa dilihat juga dalam Syarah Sahih Muslim oleh Imam Nawawy (175/15).
Sedang Atsar yang dimuat dalam kitab-kitab Tarikh tentang masalah ini ternyata semuanya bersumber kepada Ali bin Muhammad di dalamnya mengandung kelemahan karena dia mengambil dari Luth bin Yahya (Abu Makhnaf), yang menurut Siyaru A’laamin Nubalaa dan Mizanul I’tidal bahwa Abu Makhnaf tidak bisa dipercaya (bukan Tsiqah), Matruk, Taalif umumnya dia meriwayatkan dari yang dha’if serta majhul.
Selain itu periwayatan yang lemah ini juga menuduh bahwa Imam Ali melakukan sebaliknya. Padahal perbuatan melaknat terhadap sesama muslim adalah suatu perbuatan yang tidak mungkin dilakukan oleh Imam Ali. Namun mengapa yang dibesar-besarkan hanya periwayatan tentang Muawiyah terhadap Imam Ali? Mestinya sejak awal periwayatan terhadap keduanya harus jangan diterima seperti yang diungkap diatas.
(Ditulis ulang oleh Fatchul Umam. Sumber ‘Syubuhaat wa abaathiil haula Muawiyah’, Siyaru A’lamin Nubalaa, Syarah Nawawy dll). 30 Mei 2012.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management