Minggu, 07 Oktober 2012

Mengoreksi Keabsahan Keyakinan Ibnu Taimiyyah: “Istiwa’ Allah Sama Seperti Istiwa’ Makhluk-Nya.”

Disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa duduknya Allah diatas arsy seperti duduknya dia (Ibnu Taimiyyah). Hal itu, kata mereka, dikatakan sendiri oleh Ibnu Taimiyyah berulang kali ketika ia berada diatas mimbar masjid Bani Umayyah di Damaskus dan Mesir.
—————————

Kami katakan: ini adalah kedustaan jelas atas diri Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikhul Islam dalam permasalahan ini menetapkan apa yang telah Allah tetapkan sendiri untuk diri-Nya, yaitu bahwa Dia (Allah) ber-istiwa’ diatas arsy dengan bentuk istiwa’ yang sesuai dengan kemuliaan-Nya Subhanahu. Tanpa takyif (menanyakan bagaimana istiwa’ Allah?), tanpa tamtsil (menirukan istiwa’ Allah dengan bentuk perbuatan), dan tanpa tasybih (menyamakan istiwa’ Allah dengan istiwa’ makhluk-Nya), hal ini seperti ucapan Imam Malik dan selainnya, “Istiwa’ adalah sesuatu yang sudah diketahui (maknanya, pent), dan al-kaif (tatacaranya) majhul (tidak ada yang tahu), beriman dengannya adalah wajib, dan menanyakan tentangnya adalah bid’ah.”
Berikut ini kami sertakan ucapan Ibnu Taimiyyah yang telah diabadaikan dalam karya tulisnya sebagai penjelas bahwa beliau tidak pernah menyamakan duduknya Allah dengan duduknya para makhluk:
Lihat Majmu’ Fatawa 5/199 Cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh:

ولله تعالى استواء على عرشه حقيقة وللعبد استواء على الفلك حقيقة وليس استواء الخالق كاستواء المخلوقين فان الله لا يفتقر الى شىء ولا يحتاج الى شىء بل هو الغنى عن كل شىء

“Dan Allah memiliki sifat istiwa’ diatas arsy-Nya secara hakikat. Dan hamba juga memiliki sifat istiwa’ diatas bahtera secara hakikat. Tetapi istiwa’ Al-Kholiq (Allah) tidak seperti istiwa’ para makhluk. Karena Allah tidak butuh kepada sesuatu apapun, dan tidak membutuhkan sesuatu apapun. Bahkan Dia adalah Dzat yang Maha kaya (tidak butuh) dari segala sesuatu.”
Disini beliau rahimahullah menggunakan lafazh istiwa’ (beristiwa’) dan tidak menggunakan lafazh julus (duduk). Maka berbedalah sifat istiwa’ Allah dengan sifat istiwa’ makhluk-Nya.[1]
Karena seperti yang kita tahu bahwa sifat mengikuti sesuatu yang dia sifati. Semakin tinggi kemuliaan seseorang maka akan semakin tinggi pula sifat yang disandangkan kepadanya. Sebagai contoh –hanya sekedar memahamkan-, kera memiliki sifat duduk dan manusia juga memiliki sifat duduk, disini kita tanyakan: apakah sama sifat duduk kera dengan sifat duduk manusia? Tentu tidak sama. Sifat duduk manusia lebih mulia, karena yang disifati (yaitu manusia) lebih mulia dari kera. Maka seperti itulah, semakin mulia sesuatu maka akan semakin mulia pula sifat yang disandangnya.

[1] [ Diterjemahkan dari Kitab Min A’lamil Mujaddidin, karya Syaikh Sholih Al-Fauzan ]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management